Eric Clapton – Wonderful Tonight [Official Live In San Diego]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Phil Everly – Let It Be Me (Flipped OST) (2010)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tuan Gorbachev dan Warisan Perdamaian

oleh Iwan Sulistyo

(opini ini dimuat di Lampung Post, Rabu, 7 September 2022)

Tersiar kabar dari Moskwa bahwa Mikhail Sergeyevich Gorbachev, pemimpin terakhir Uni Soviet, telah menutup mata untuk selama-lamanya pada Selasa malam (30/8) dalam usia 91 tahun. Gorbachev menggantikan Konstantin Ustinovich Chernenko yang mangkat pada 1985 sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet, posisi terkuat dan terpenting di tubuh negara kompetitor terberat Amerika Serikat kala itu.

Ketika Yuri Vladimirovich Andropov (menjabat Sekjen menggantikan Leonid Ilyich Brezhnev) wafat pada 1984, pernah beredar spekulasi di kalangan analis politik Soviet bahwa figur terkuat sesungguhnya ialah Gorbachev, bukan Chernenko. Chernenko justru dianggap oleh segelintir kalangan sebagai tokoh yang tidak begitu menonjol dan tidak terlalu diperhitungkan di dalam dinamika elite politik Soviet. Ia dipandang sebagai ‘bayang-bayang Brezhnev’. Kemanapun Brezhnev melawat, ia ikut serta. Terpilihnya Chernenko diduga merupakan hasil konsensus politis antara ‘kaum tua’ dan ‘kaum muda’ di internal elite politburo saat itu.

Andai Gorbachev menggenggam posisi Sekjen lebih awal, dan bukan Chernenko yang terpilih pada 1984, ada kemungkinan Perang Dingin berakhir lebih cepat dan Soviet bubar lebih dini karena glasnost (transparansi/keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi/reformasi sistem ekonomi dan politik) juga bergulir lebih awal.

Dari aspek bahasa tubuh, Gorbachev berpembawaan tenang, meyakinkan, dan penuh percaya diri. Ayunan langkah tangan dan kakinya ketika berjalan serta sorotan matanya memancarkan energi optimistis akan masa depan. Ia sangat menguasai podium dan audiensi.

Yang paling mengesankan ialah kalimat yang diucapkannya, nyaris tertata rapi. Suaranya yang khas, nada bicaranya yang sangat jelas, ada jeda antarkalimat yang disampaikan, dan disertai intonasi yang tepat saat bertutur – itu semua kian memperkuat pancaran wibawa dan kharismanya sebagai seorang pemimpin. Setidaknya, kesan itu terasa dari tampilan pertama kalinya tatkala ia berpidato sebagai pemimpin baru Uni Soviet pada pemakaman Chernenko (Sekjen yang ia gantikan) di atas tribun Musoleum Lenin serta pada saat bersalaman dan berbincang dengan para pemimpin negara yang hadir usai pemakaman itu.

Tidak bisa dibantah, Gorbachev telah banyak memahat sejarah, khususnya upaya untuk menciptakan ‘perdamaian abadi’ di mandala Eropa dan dunia. Di dalam beberapa pidatonya, Gorbachev juga menekankan pentingnya menyelamatkan generasi masa depan dari konflik dan perang.

Peredaan Ketegangan Dua Adidaya

Betapapun keras dan pedas kritik serta cacian atas kegagalannya dalam mempertahankan keutuhan dan keberlangsungan Uni Soviet, Gorbachev layak dikenang sebagai individu yang relatif berhasil dalam peredaan ketegangan Moskwa-Washington dan, bahkan politik internasional secara luas, terkait ancaman perang nuklir. Sebelumnya, relasi Moskwa dengan Barat di era Andropov sempat memburuk, khususnya soal perundingan senjata nuklir: Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) dan Strategic Arms Reduction Talks (START). Ini kita bisa telaah, setidaknya, dari narasi yang termuat di dalam surat-menyurat antara Andropov dan Presiden AS Ronald Reagan, khususnya pada paragraf penghujung dalam surat yang dikirim Andropov ke Reagan, (tanpa tanggal) Agustus 1983 dan 28 Januari 1984.

Sikap Andropov yang kaku dan relatif jarang dari publikasi media itu sangat berbeda dari pendahulunya, Brezhnev. Brezhnev bahkan mampu bercanda saat penandatanganan perjanjian sembari minum dengan Presiden AS, Richard Nixon. Kebekuan hubungan tersebut kemudian bisa dicairkan dengan cara diplomasi yang lebih elegan dan bermartabat ala Gorbachev.

Beberapa waktu setelah Gorbachev mengambil-alih tampuk kepemimpinan puncak di Kremlin, kenyataan memperlihatkan bahwa relasi yang ia bangun terhadap Gedung Putih mengarah pada ikhtiar persahabatan dan perlahan menepis kecurigaan dan perseteruan. Itu setidaknya dapat kita identifikasi dari bahasa yang digunakan di dalam surat-menyurat antara Gorbachev dan Reagan serta pelbagai pertemuan yang digelar antara keduanya.

Jam terbang diplomatik, luar negeri, dan bahkan intelijen yang dimiliki oleh Gorbachev memang tidak sekaya yang dikantongi Andropov. Sebab, Andropov pernah menjadi Duta Besar Uni Soviet untuk Hongaria (1954–1957) dan pernah pula memimpin lembaga intelijen dalam negeri Soviet (KGB) selama hampir 15 tahun. Selain itu, dilandasi oleh filsafat “lebih baik mengukur tujuh kali sebelum memotong sekali”, Andropov juga telah berupaya secara perlahan dan hati-hati membenahi tata kelola pemerintahan serta urusan ekonomi Soviet agar ketidak-efisienan di dalam pemerintahan tak terulang lagi.

Akan tetapi, tampaknya, naluri Gorbachev untuk membangun perdamaian dunia dengan pihak lawan justru lebih kental dan lebih tajam daripada Andropov dan dari para pendahulunya. Pengakuan internasional atas reputasi Gorbachev ihwal perdamaian dunia terbukti dari pemberian Hadiah Nobel Perdamaian 1990 oleh the Norwegian Nobel Committee. Dasar pemberian itu, antara lain, ialah karena Gorbachev sukses mengedepankan negosiasi ketimbang konfrontasi, terhindarnya dunia dari ancaman perlombaan senjata (ditandatanganinya INF Treaty 1987 setelah berunding beberapa kali), serta hadirnya keterbukaan dan kebebasan di Eropa Timur. Juga, penarikan pasukan Soviet dari Afghanistan (1988).

Arus Kemerdekaan

Akibat kebijakannya, Gorbachev tak mampu membendung derasnya arus kebebasan dan kemerdekaan di negara-negara anggota Soviet. Ia akhirnya mengundurkan diri dari posisinya sebagai presiden, 25 Desember 1991; suatu keputusan monumental yang kemudian menjadi pertanda redanya Perang Dingin dan ambruknya sistem komunisme di sebagian besar Eropa Timur.

Dua peristiwa lain yang berdekatan yang juga menandai Perang Dingin usai ialah runtuhnya Tembok Berlin (8 November 1989) serta menyatunya Jerman Barat dan Jerman Timur (9 Desember 1990). Bagi masyarakat Jerman dan Eropa Barat, Gorbachev adalah pahlawan yang telah menyelamatkan negara-bangsanya dari perpecahan dan potensi kekangan. Di Malta, 2–3 Desember 1989, Gorbachev dan Presiden Bush Senior bertemu. Mereka sepakat untuk mengakhiri Perang Dingin dan menyudahi sikap konfrontasional. Momen yang sungguh menyejukkan bagi sebagian besar masyarakat dunia.

Di abad ini, pemimpin dunia yang masih gandrung perang atau bahkan berupaya membangun persepsi konfliktual dan membawa negara-bangsanya kepada kondisi perang besar adalah pemimpin yang irrasional. Sungguh tangan mereka penuh lumuran darah dan air mata hanya karena ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri sendiri serta memperturutkan sifat dasar manusia yang egois dan agresif.

Betapa Gorbachev telah memperlihatkan kesanggupannya dalam mengendalikan diri sendiri dan mengelola ego sebagai pemimpin negara besar untuk tidak menggiring dunia pada jurang pertikaian nuklir yang amat mengerikan meskipun hal itu harus dibayar secara amat mahal dengan kekecewaan dan pertikaian internal sebagian warga atas bubarnya Uni Soviet.

*Iwan Sulistyo, Dosen Hubungan Internasional (HI) FISIP Universitas Lampung (Unila); https://dosen.unila.ac.id/iwansulistyo/

Kompetensi Pemimpin Sipil

oleh Iwan Sulistyo

(opini ini dimuat di Lampung Post, Rabu, 5 Oktober 2017)

SAYA sepakat dengan pandangan bahwa Indonesia patut mengingat pengalaman kurang mengesankan selama Orde Baru berkuasa. Yakni, betapa kuatnya peran Pemerintah Pusat mengelola pemerintahan serta upaya militerisasi (kepemimpinan) di hampir seluruh provinsi dan kabupaten.

Selain itu, juga benar bahwa nilai-nilai demokratis yang kini tengah mekar di Tanah Air mesti dijaga agar tetap luhur dan terhindar dari budaya militeristik. Harus diakui, ada perbedaan mendasar soal nilai, ciri/karakter, dan fungsi/peran antara militer dan sipil. Dibekali pengetahuan dan kemudian dilatih untuk berperang, militer mengelola force (daya paksa, kekuatan) untuk kepentingan nasional/negara, utamanya dari ancaman eksternal.

Namun, di masa kini, barangkali ada sejumlah kecil rasionalitas dalam pendidikan dan kultur militer. Dalam kadar yang pas kultur tersebut patut ditransformasikan menjadi nilai-nilai konstruktif bagi kepemimpinan sipil yang selama ini masih relatif lemah, terlebih pasca-Reformasi 1998.
Hal itu didasarkan pada kenyataan, sejak Orde Baru tamat, Indonesia perlahan menuju sistem demokrasi. Militer harus kembali ke peran dasarnya menjadi profesional, yaitu untuk pertahanan negara (menangkal ancaman eksternal) serta tidak terlibat dalam politik praktis dan bisnis. Alhasil, pelbagai posisi/jabatan yang menjadi domain sipil di beragam tingkatan, mesti dipercayakan kepada kalangan sipil yang cakap.
Sebagian posisi/jabatan sipil yang penting dan sentral, mulai dari gubernur, bupati, wali kota, camat, lurah, hingga kepala desa, atau di tingkat pusat ada menteri, direktur jenderal, sekretaris jenderal, serta inspektur jenderal, yang selama tiga dekade diisi militer, kini harus ditempati sipil yang berkompeten.

Perkuat Kompetensi Sipil

Salah satu dimensi penting dari profesi/organisasi militer dan kemudian layak diterjemahkan ke dalam makna yang tepat oleh kepemimpinan dan organisasi sipil ialah kedisiplinan. Oleh sebab itu, memperkuat kompetensi kepemimpinan sipil (civilian leadership competency) secara perlahan di semua level pemerintahan tidak bisa dielakkan. Sebab, ia merupakan tumpuan untuk mewujudkan pengelolaan pemerintahan yang baik dan bersih secara menyeluruh. Makin demokratis Indonesia, tuntutan itu tentu kian meningkat.

Pertanyaannya, sipil mana yang harus memiliki kompetensi? Lantas, kompetensi kepemimpinan seperti apa yang mampu menopang pemerintahan sipil yang demokratis?

Kelompok pemimpin sipil di sini ialah mereka yang terpilih untuk ranah eksekutif di tingkat nasional, provinsial, dan lokal melalui pemilihan yang demokratis sekali lima tahun. Kemudian mereka yang merupakan bagian dari pemimpin puncak aparatus birokrasi yang berperan sebagai mesin penggerak pemerintahan.

Tidak ada kata sepakat terkait cakupan kompetensi tersebut. Namun, kata kunci yang dapat dikemukakan ialah mengacu pada dasar manajemen, yakni mengasah dan menerapkan secara konsisten kemampuan planning, organizing, commanding, coordinating, dan controlling.

Harvard Business Review (November 2010) pernah menanyai 195 global leaders di 15 negara dan 30 organisasi global soal leadership competencies yang harus dimiliki para pemimpin. Hasilnya, aspek standar etika dan moral yang tinggi serta tujuan yang jelas berada di urutan teratas.

Secara teoritis, dalam konteks pola kontrol sipil atas militer pasca-Perang Dingin, menurut Desch (1999), militer lebih mudah dikontrol apabila yang dihadapi adalah ancaman eksternal (internasional). Sebaliknya, militer akan sulit dikendalikan ketika menghadapi ancaman internal/domestik.
Di Indonesia, dalam jangka-panjang, kecil kemungkinan militer (aktif) mengintervensi terlalu jauh ranah politik/pemerintahan. Setidaknya kita dapat berefleksi pada kejadian 1998. Kala itu, militer mengawal jalannya transisi pemerintahan ke arah demokratis dengan relatif baik.
Namun, fakta tampilnya figur purnawirawan militer atau bahkan yang masih aktif (lalu mengundurkan diri dari kedinasan) dan terjun ke politik praktis, tampaknya tidak bisa dibantah. Di masa depan, kecenderungan ini barangkali akan tetap ada kendati jumlahnya tidak begitu signifikan.

Dua Simpul Kritikal

Ironi dari demokrasi politik yang kita nikmati sejak Reformasi 1998 ialah terbukanya ruang yang sangat luas bagi siapa saja yang hendak memimpin di semua level pemerintahan; mulai dari nasional hingga daerah. Mereka yang tidak memiliki kemampuan pun bisa maju dan terpilih.
Sipil yang terpilih secara demokratis di pelbagai daerah kerap terjebak dalam dua simpul kritikal: hukum besi oligarki (pemerintahan yang dikelola segelintir elite) dan kleptokrasi (kerja sama saling menguntungkan birokrat—korporat). Terlebih, sebagian besar partai politik gagal menjalankan fungsi rekrutmen serta konsolidasi internal.
Pada akhirnya, penegakan hukum yang konsisten harus dikawal untuk memperkuat kompetensi kepemimpinan sipil. Khususnya dalam merespons beragam persoalan nasional dan daerah seiring melonggarnya kedua simpul itu.

Indonesia kini membutuhkan sekitar 34 gubernur, 416 bupati, dan 98 wali kota. Kemudian 7.094 camat, 8.412 lurah, serta 74.093 kepala desa, termasuk para aparatur sipil lainnya. Mereka harus makin sadar untuk mempertajam kompetensi kepemimpinan guna melayani 250 juta penduduk. Disiplin sosial dan pemenuhan beragam kebutuhan pokok adalah kunci stabilitas.

Generasi muda (sipil) Indonesia, terlebih mereka yang lahir di era 1970-an dan 1980-an, harus mengasah kemampuan memimpin sejak dini agar di masa depan memiliki kompetensi mengisi beragam posisi di pelbagai tingkat pemerintahan.

Mereka harus memiliki cukup pengetahuan dan menyerap derasnya informasi regional dan global. Juga, menguasai keterampilan adaptif terhadap lingkungan yang dinamis. Berani dan cermat mengambil risiko, responsif terhadap keluhan masyarakat, tidak defisit gagasan, serta memiliki inspirasi dan inovasi. Secara individual, mereka harus cakap menatap masa depan dengan disiplin dan penuh percaya diri, tetapi tetap rendah hati. ***

*Iwan Sulistyo, Dosen Hubungan Internasional (HI) FISIP Universitas Lampung (Unila); https://dosen.unila.ac.id/iwansulistyo/

Indonesia dan Perlombaan Senjata

oleh Iwan Sulistyo

(opini ini dimuat di Harian Haluan, Sabtu, 16 Juli 2016)

Pembicaraan resmi antara Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI), Ryamizard Ryacudu, dan Menhan Federasi Rusia, Sergey Shoigu, di Moskwa medio April lalu membawa angin sejuk bagi upaya penguatan postur militer Indonesia.

Dikabarkan, pertemuan itu mencakup rencana peningkatan kerja sama kedua negara di bidang militer. Juga, keinginan pemerintah Indonesia untuk membeli secara bertahap 10 unit pesawat tempur Sukhoi (Su-35).

Sebulan kemudian (19 Mei), pertemuan Presiden RI, Joko Widodo, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, di kota Sochi, sebelah barat Rusia (di sela penyelenggaraan ASEAN-Russia Summit), tampaknya kurang memperjelas keinginan itu. Sebab, menurut Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, keduanya tidak secara spesifik membahas pembelian tersebut, tetapi justru kerja sama pertahanan secara luas yang mencakup antara lain transfer of technology dan pengembangan Sumber Daya Manusia.

Perlombaan Senjata?

Rencana pembelian ini sendiri masih samar-samar. Namun, jika Su-35 jadi dibeli, apa dampaknya bagi perimbangan kekuatan di Asia Tenggara? Kendati jumlahnya tidak begitu banyak, yakni sekitar 10 unit, apakah itu akan memunculkan arms races (perlombaan senjata) di tingkat kawasan?

Relatif sulit mengidentifikasi apakah penambahan persenjatan oleh suatu negara, entah dalam jumlah yang banyak atau sedikit, memang merupakan wujud respon terhadap penguatan kapabilitas pertahanan negara atau aliansi militer lain? Ataukah hal itu justru sekedar tindakan (maintenance, routine modernization, build-up) untuk ‘mengamankan diri’ karena memang sudah beberapa tahun tidak mempersenjatai-diri?

Bersandar pada pandangan Buzan dan Herring dalam The Arms Dynamic in World Politics (1998) bahwa perlombaan senjata merupakan suatu wujud ekstrem atas ragam tekanan yang kompleks yang kemudian mendorong suatu negara menambah kualitas dan kuantitas armada militernya, penulis berargumen, negara-negara di Asia Tenggara belum terlibat ke dalam perlombaan senjata.

Untuk sementara, ia masih berupa “kompetisi persenjataan konvensional” yang tidak begitu keras dan sengit, namun dengan kadar yang ‘cukup kritis’. Sebab, walaupun memang angka nominalnya bertambah secara konsisten sejak krisis ekonomi 1998, tetapi peningkatan rata-rata anggaran pertahanan negara-negara di Asia Tenggara tidaklah cepat dan drastis.

Bila pembelian oleh Indonesia itu terlaksana, dari segi magnitude (besaran)-nya, juga tidak fantastis dan hanya terfokus pada matra udara. Itu pun bukan dipicu oleh serangkaian konflik teritorial di tingkat kawasan yang tajam dan tidak pula disusul oleh penggelaran senjata dalam jumlah yang signifikan di area tertentu yang menjadi sengketa.

Barangkali, spiral aksi-reaksi kini justru melibatkan negara-negara besar di luar kawasan, yaitu antara RRT, Rusia, dan AS, yang kebetulan saling berebut pengaruh, khususnya di Laut Tiongkok Selatan.

Secara taktis-strategis, pertahanan Indonesia layaknya bertumpu pada dimensi laut mengingat ia adalah negara kepulauan yang luas. Karena itu, idealya, fokus penguatan ialah pada kekuatan bahari, dengan tidak mengabaikan penguatan di matra udara dan darat. Bukankah saat dilantik, Presiden Widodo pun telah menegaskan bahwa “kita telah terlalu lama memunggungi laut, samudera, selat, dan teluk”?

Memiliki armada militer yang tangguh adalah keharusan, utamanya untuk mengamankan wilayah kedaulatan serta kekayaan alam. Lagipula, di Indonesia terdapat tiga ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan Selat Malaka, terpadat lalu-lintasnya (sekitar seperempat perdagangan maritim dunia).

Selama ini, dalam menghadapi kendala keuangan domestik, Indonesia menjaga technological parity (paritas teknologi) terhadap sejumlah negara kuat (Singapura, Thailand, dan Malaysia). Artinya, kendatipun belum sanggup membeli peralatan militer dalam jumlah yang banyak, paling tidak, Indonesia tetap berupaya mempertimbangkan ‘kesetaraan teknologi’.

Hingga kini, bila merujuk data The Military Balance 2016, dari segi besaran anggaran pertahanan, Singapura masih yang terkuat ($9,68 milyar, terlebih sebaran jumlah armada militer di matra darat, laut, dan udara), disusul oleh Indonesia ($7,57 milyar), Thailand ($5,37 milyar), dan Malaysia ($4,74 milyar).

Sebagai negara kecil yang fasih dalam kalkulasi geopolitis dan geostrategis, Singapura akan selalu memantau dengan cermat setiap mur dan sekrup yang ditambahkan untuk memperkuat armada militer Indonesia.

Akan tetapi, manakala Indonesia tampak ‘terlalu agresif’ dalam memperkuat postur (modernisasi) militernya, maka sikap ini diyakini akan mengundang ‘rasa tidak aman’ bagi negara-negara tetangganya. Implikasinya, perlombaan senjata akan terjadi walaupun masih dalam ‘kadar yang menengah’ dengan spiral aksi-reaksi yang tidak begitu intens.

Persepsi Ancaman

Para petinggi militer maupun elite sipil di tingkat regional yang menangani persoalan pertahanan paham bahwa persepsi Indonesia terhadap kemungkinan terjadinya perang di masa depan adalah kecil. Bahkan, hal itu disebutkan secara eksplisit di dalam Buku Putih Pertahanan RI tahun 2003 dan 2008. Alhasil, titik tekan selama ini ialah lebih pada alat angkut (kurang pada alat pukul) untuk distribusi logistik menghadapi ancaman bencana alam.

Semahal apapun biaya yang harus dialokasikan untuk bidang militer/pertahanan, ia terkait erat dengan harga diri sebagai sebuah negara-bangsa yang berdaulat agar disegani dan tidak lagi dipandang remeh oleh negara-bangsa lain. Terlebih, hal itu akan selalu berhadapan dengan prioritas pembangunan di beberapa bidang lain yang juga dirasa penting dan mendesak, misalnya jalan raya, sarana pendidikan, dan kesehatan.

Sementara itu, peningkatan anggaran pertahanan RRT serta kehadiran militernya beberapa kali di Laut Tiongkok Selatan niscaya akan memengaruhi persepsi para pemimpin di sebagian besar negara-negara anggota ASEAN – termasuk para elite di Jakarta – dalam menganalisis lingkungan strategis untuk lima hingga sepuluh tahun kedepan; khususnya dalam menghitung dengan cermat seberapa besar biaya yang mesti digelontorkon guna menangkal segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Dalam jangka-panjang, dua hal yang patut ditengarai menjadi embrio perlombaan senjata di Asia Tenggara ialah “penambahan kuantitas dan kualitas peralatan militer secara signifikan oleh Indonesia” serta “eskalasi konflik di Laut Tiongkok Selatan yang kian memuncak”. The Military Balance 2016 sendiri bahkan menyatakan, Laut Tiongkok Selatan telah memicu Vietnam, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Singapura mempertangguh instrumen militernya.

Hal krusial lain yang patut dicermati ialah pencabutan embargo persenjataan oleh AS terhadap Vietnam. Dalam lima tahun mendatang, guna mengimbangi Vietnam, dengan besaran yang beragam, sejumlah negara kemungkinan besar juga akan memperkuat-diri karena merasa terancam.

Dinamika di Kepulauan Natuna soal kapal ikan RRT beberapa waktu lalu akan dipandang sebagai salah satu motif Indonesia untuk mempersenjatai-diri di tahun-tahun mendatang.

Tacit Arms Races”?

Di sisi yang lain, semakin tinggi anggaran Research and Development (R&D) untuk bidang pertahanan dan penguatan industri militer, maka semakin besar pula kemungkinan negara-negara di kawasan Asia Tenggara terlibat ke dalam pusaran perlombaan senjata berteknologi canggih secara diam-diam (“tacit arms races”), termasuk untuk kian mempertajam precision guided munitions.

Tidak ada mekanisme yang jitu dalam menangkis percaturan keras antarnegara-bangsa untuk terjerumus ke dalam lingkaran perlombaan ini. Variabel military-industrial complex kerap ikut serta.

Dialog antarpemimpin sipil dan militer serta patroli dan latihan militer bersama di sejumlah perairan strategis setidaknya akan meredam rasa curiga dan rasa tidak aman.

Lebih luas, di masa kini dan yang akan datang, Indonesia tidak dapat menghindar dari kerentanan/ancaman dan bahkan serangan terhadap perangkat sistem keuangan/perbankan, transportasi, serta sistem lainnya yang menunjang kepentingan nasional. Pada akhirnya, memperkuat strategi penangkalan dan pertahanan dalam cyberspace menjadi suatu keharusan.

*Iwan Sulistyo, Dosen Hubungan Internasional (HI) FISIP Universitas Lampung (Unila); https://dosen.unila.ac.id/iwansulistyo/